Bolehkah para ayah berbagi sebagian hasil kerja keras para ibu?
Kesibukan para ibu setiap hari, mencuci pakaian, memasak, mengatur pekerjaan rumah, mengurus anak, hingga mengurus berbagai urusan sepele tidak ada habisnya. Dan bagaimana dengan ayah? Bisakah mereka berbagi tanggung jawab keluarga dengan ibu sehingga ibu dapat memiliki lebih banyak waktu dan tenaga untuk melakukan hal-hal yang mereka sukai?
Di Belanda, perempuan dapat terus bekerja setelah hamil sejak tahun 1957, sehingga banyak ibu dapat menemukan keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga. Dalam beberapa tahun terakhir, para ayah di Belanda juga memiliki lebih banyak peluang dan pilihan. Mereka dapat mengambil cuti sebagai orang tua atau mengurangi jam kerja untuk menemani anak-anak mereka tumbuh dewasa. Idealnya, pengaturan tersebut harus memberikan kedua orang tua memiliki waktu dan hak yang sama di tempat kerja dan di rumah. Namun kenyataannya tidak demikian. Di sebagian besar keluarga, ibu masih melakukan lebih banyak pekerjaan rumah dibandingkan ayah.
Mengapa ibu harus lebih banyak melakukan pekerjaan rumah tangga?
Anda mungkin berpikir bahwa ketika Anda tinggal sendirian, pekerjaan rumah tangga akan menyita sebagian besar waktu Anda. Karena tidak ada orang yang membantu Anda dengan beban tersebut, Anda harus melakukan semuanya sendiri, bukan?
salah. Faktanya, banyak penelitian menemukan bahwa ketika perempuan dan laki-laki tinggal bersama, waktu pekerjaan rumah tangga perempuan justru bertambah. Dan ketika perempuan menjadi ibu, situasi ini menjadi lebih jelas lagi: sebagian besar ibu tidak hanya harus melakukan lebih banyak pekerjaan rumah, tetapi juga mengurus anak, sementara ayah memiliki lebih sedikit waktu untuk melakukan pekerjaan rumah. Selain perbedaan gender yang jelas ini, terdapat juga pola pembagian pekerjaan rumah tangga: ibu biasanya melakukan lebih banyak pekerjaan rumah tangga sehari-hari, seperti bersih-bersih, memasak, dan mencuci, sedangkan ayah lebih bertanggung jawab. Kadang-kadang melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memperbaiki barang, merawat taman, dan mengambil barang-barang di luar rumah. Sampah. Namun, pekerjaan rumah yang dilakukan ibu perlu lebih sering diulang, sehingga mengakibatkan ibu menghabiskan lebih banyak waktu untuk pekerjaan rumah dibandingkan ayah. Akibatnya, waktu senggang pribadi para ibu menjadi sangat berkurang. Selain itu, ibu yang merasa tidak puas dengan pembagian pekerjaan rumah tangga yang tidak adil ini cenderung merasa tertekan dan kurang puas dengan pernikahannya.
Tekanan psikologis para ibu
Selain pekerjaan rumah secara fisik, ibu juga harus memikul lebih banyak pekerjaan rumah secara psikologis. Pekerjaan mental rumah tangga seperti ini berarti meluangkan waktu untuk memikirkan apa yang perlu dilakukan di rumah namun belum benar-benar dilakukan. Ibu seringkali berperan sebagai “manajer keluarga”, termasuk mengatur jadwal keluarga (“Kapan saya perlu membelikan anak baju baru?”) dan mengingatkan anggota keluarga lainnya (termasuk ayah) untuk menyelesaikan tugas mereka (“Jangan “Saya lupa membuat makan siang untuk anak-anak’), mencatat kewajiban keluarga dan masyarakat (‘Saya masih harus memberikan hadiah kepada guru’), dan merencanakan kebutuhan jangka panjang keluarga dan anak-anak (‘Haruskah kita pindah ke distrik sekolah yang lebih baik?’). Oleh karena itu, ibu bertanggung jawab tidak hanya atas apa yang harus mereka lakukan, tetapi juga atas apa yang harus dilakukan oleh anggota keluarga lainnya. Sebaliknya, ayah sering kali hanya perlu mengambil keputusan mengenai hal-hal tertentu (“Apa yang akan kita makan hari ini?”).
Dampak ekspektasi gender
Lantas, apa penyebab pembagian pekerjaan rumah tangga yang timpang? Salah satu jawaban yang mungkin adalah bahwa pembagian pekerjaan rumah tangga yang tidak setara ini hanya terjadi di antara pasangan heteroseksual, karena pasangan gay pada umumnya mempunyai pembagian pekerjaan rumah tangga yang lebih setara. Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa pembagian pekerjaan rumah tangga yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan berkaitan dengan ekspektasi sosial mengenai gender:
Sebagai pasangan laki-laki, perempuan diharapkan dapat menjalankan tugas rumah tangga sehari-hari, seperti memasak dan bersih-bersih. Sebagai pasangan perempuan, laki-laki mungkin bertanggung jawab atas situasi keuangan keluarga, namun ia tidak mempunyai banyak tanggung jawab untuk menjalankan keluarga sehari-hari. Norma-norma sosial ini sangat kuat terutama bagi pasangan yang memiliki anak. Sekalipun kedua orang tua bekerja paruh waktu dan berbagi tanggung jawab mengasuh anak secara setara, orang lain (seperti guru, dokter, dll.) sering kali percaya bahwa ibu adalah pengasuh utama anak dan mempunyai tanggung jawab terbesar terhadap anak. Jadi jika seorang anak mengenakan pakaian yang tidak pantas di foto sekolah atau lupa membawa makanan ke pesta liburan, para ibu mungkin akan mendapat lebih banyak kritik.
Bagaimana cara mencapai kesetaraan dalam pekerjaan rumah tangga?
Mungkin tidak ada cara mudah untuk mengatasi masalah ini. Namun, langkah penting yang bisa dilakukan adalah dengan terus meningkatkan jumlah cuti yang dapat diambil orang tua setelah kelahiran anak (misalnya Norwegia, Swedia, dan Denmark). Hal ini akan memungkinkan kedua orang tua untuk lebih terlibat dalam pengasuhan anak-anak mereka, dan pada akhirnya dapat mengarah pada masyarakat di mana laki-laki dan perempuan benar-benar menjadi mitra yang setara.
Tes Psikologi Online Gratis
Tes menyenangkan: Apa hubungan Anda dengan ibu Anda di kehidupan sebelumnya?
Alamat tes: www.psyctest.cn/t/965J2Q5q/
Tautan ke artikel ini: https://m.psyctest.cn/article/2Dxz0LGA/
Jika artikel asli dicetak ulang, harap sebutkan penulis dan sumbernya dalam bentuk tautan ini.